Bicara tentang Universitas Ahmad Dahlan selalu identik dengan banyaknya kampus yang tersebar di Jogja. Bagaimana tidak, UAD terkenal dengan julukan “Universitas Ada Dimana-mana” dibuktikan dengan ada 6 kampus yang dimiliki. Kampus megah nan indahpun kini berdiri diatas tanah Yogyakarta tepatnya menjadi kampus 4, yang dulunya hanya 2 bagunan islamic center UAD dan Pondok Pesanteren Ahmad Dahlan kini telah bertambah bangunan besar yang menjadi pusat perkuliahan dan gedung kedokteran yang sedang dikebut pembangunanya.
Bertambah baik kualitas gedung serta sarana perkuliahan di UAD Kampus 4 tidak dipertanyakan lagi, gedung yang menjulang tinggi hingga 10 lantai, lift dan eskalator yang selalu stand by menghantarkan mahasiswanya sampai lantai yang dituju, AC yang selalu dingin dan ruang kelas yang selalu menunjang kegiatan perkuliahan, ditambah dengan ruang tunggu yang begitu luas serta banyak toilet tersedia di setiap sisi tempat dan banyak hal yang menjadi kelebihan kampus ini. Akan tetapi hal berbeda terlihat jika melihat kampus 6 UAD yang terletak di ujung Yogyakarta, Wates tepatnya.
Tidak didapati gedung megah lebih-lebih ruang kelas yang berAC dan tempat yang luas, kondisi yang berlawanan terjadi di kampus ini. Dewan Perwakilan Mahasiswa sebagai lembaga legislatif dari Fakultas Agama Islam menjadi penampung segala aspirasi serta keluh kesah yang dirasakan Mahasiswa Wates melalui kegiatan hearing dan Koordinasi yang diselenggarakan dikampus 6 UAD.
Tepat pada 28 April 2018 kegiatan ini menjadi tonggak awal dari DPM FAI yang berkordinasi dengan Kajian Strategis Politik Hukum dan Hak Asasi Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa dalam menampung segala aspirasi dan keluh kesah yang dirasakan Mahasiswa Wates. Yang disayangkan oleh Awinartho selaku ketua DPM FAI periode 2018 adalah mahasiswa Wates tidak mampu mendiaspora dalam jajaran petinggi DPM U/BEM U.
Mendengar keluh kesah di mahasiswa kampus 6 menjadi tujuan dari agenda ini, karena tugas DPM sebagai lembaga legislatif hanya mampu menyampaikan segala yang telah dikaji kepada pihak dekanat dan dekanatlah yang menjalankan tugas untuk merealisasikan segala aspirasi. Yang menjadi permasalahan krusial ialah ketidak responsifan dari pihak dekanat terhadap keadaan kampus 6, karena terlalu banyak isu yang berkembang mengenai status lahan kampus wates dan belum terkonfirmasi dengan jelas.
“fasilitas yang jauh dari layak dibandingkan dengan kampus Jogja, serta sejak STAI bergabung dengan UAD biaya melonjak naik tetapi, apa yang didapat kurang adil dan tidak sebanding” ungkap, Annisa Muslimah mahasiswa Wates semester empat. Ditambah dengan pernyataan Aan Mukosin, bahwa kampus tidak seindah di brosur, serta berkurangnya mahasiswa menjadikan sebuah pertanyaan akankah kuota mahasiswa wates tahun 2018 ditambah atau tidak, serta harapan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas saran dan prasarana perkuliahan dengan menambah Biskom ke kampus 6.
Semakin seru, Shiddiq mahasiswa wates angkatan 2015 menambah bahwa ada rasa suudzon, pihak universitas tidak mendukung perkembangan kampus wates dan memberikan empat solusi: pertama kuota maba wates dahulu yang dipenuhi setelah itu jogja kedua zonasi PMB PAI dibagi menurut wilayah ketiga penutupan kuota maba Jogja setelah penuh maka dipindah ke Wates keempat jika semua solusi tidak diterima maka mahasiswa sendiri yang mencari kuota kampus 6.
Arhy mempertanyakan seberapa sukses audiensi DPM dengan dekanat terhadap kemajuan kampus wates, kemudian ditambah dengan Rahaiana Ainun , mempertanyakan apakah keberadaan kampus 6 dikehendaki atau tidak, dan kejelasan pengabungan STIA dan UAD dari PP Muhammadiyah.
Merespon dari beberapa pertanyaan DPM FAI tidak dapat menjamin sejauh mana kesuksesan dari audiensi dengan dekanat, wewenang untuk menjalankannya adalah dekanat yang menjawab segala keluhan yang dialami saat ini, dan DPM mempunyai acuan undang-undang dalam menjalankan tugasnya.