Baru-baru ini publik dihadapkan pada kontrovesi UU MD3, pemberlakukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang begitu ironis. Bagaimana tidak, UU itu ada dan lahir ditengah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga lembaga tersebut. Rakyat tak hanya semakin tidak percaya kepada DPR, tetapi juga tidak percaya kepada demokrasi.
Kesadaran publik mengenai politik pun kian bertambah dengan adanya UU ini, dan pengesahanya pun berpotensi mengekang kebebasan berpendapat seorang yang mengkritik DPR. Terlepas dari adanya kontroversi yang dilakukan oleh para dewan (legislatif), tersebut dan cita-cita besar bangsa ini harus dijaga dan dirawat yakni demokrasi yang berlangsung di Indonesia merupakan harapan dari DPR. Akan tetapi kecenderungan untuk mengalami defisit demokrasi semakin meningkat, dengan pasal 122 huruf k yang menggaskan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan(MKD) bertugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap orang, perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan DPR. Dengan kata lain bahwa DPR menjadi antikritik dan kebal hukum. Pengamat menanggapinya sebagai upaya kriminalisasi terhadap praktik demokrasi, khususnya rakyat yang kritis terhadap DPR.
Meskipun begitu Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman berkilah bahwa pasal itu bukan untuk membatasi masyarkat untuk mengkritik kinerja DPR, namun untuk menjaga martabat DPR sebagai negara. “ DPR itu harus dikritik. Yang tidak mau kan jangan sampai ada yang membandingkan DPR itu dengan ucapan-ucapan yang tidak etis, tidak sepantasnya, yang merendahkan martabat.” Kata Supratman.
Dalam sidang pengesahan revisi UU MD3 itu diwarnai oleh walkout-nya partai Nasdem yang meminta agar pengesahannya ditunda, begitu pun dengan partai PPP yang mengajukan penundaan. Johhny G Plate yang merupakan SEKJEN Partai Nasdem menjelaskan alasan penolakan partai Nasdem yang menolak pengesahan revisi UU MD3 itu karena dapat memberikan persepsi buruk kepada publik.
Meski begitu, pengesahan UU MD3 ini menurut pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijkan, Bivatri Susanti, bahwa UU itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap rakyar yang kritis terhadap PDR, walaupun pengekan hukum tetap dilakukan polisi, karena pasal yang seakan-akan menakut-nakuti masyarakat, dan tidak sesuai dengan nafas konsititusi yang melindungi warga untuk berpendapat, tegasnya.
Akan tetapi disatu sisi klaim DPR dengan melalui UU MD3 menjadikan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kontrol kritik publik. Dimana MKD berfungsi mengawasi perilaku para anggota dewan khususnya terkait persoalan etika. Menurut Jeirry Sumampouw sebagai koordinator Komite Pemilihan Indonesia “melalui UU ini fungsi MKD diubah MKD yang tadinya digunakan untuk memperbaiki perilaku anggota DPR agar DPR itu dihormati secara kelembagaan” dalam acara diskusi di Jakarta 13/2/2018
Kemudian tambahnya lagi lembaga DPR yang dibentuk untuk memperbaiki perilaku anggota DPR sekarang mereka berubah menjadi alat untuk membungkam kritik. Serta menurut penilaian Jeirry pula bahwa MKD yang berfungsi mengawasi perilaku anggota DPR dari sisi etika justru digunakan sebagai alat untuk melindungi pribadi DPR, tak heran bahwa publik juga turut menilai UU MD3 sebagai undang undang yang sarat kepentingan DPR dan anggotanya.
Maka terdapat pertentangan dalam penerjemahan makna pengesahan UU MD3 ini, ada dua sisi yang sejatinya bertolak belakang dari makna sesungguhnya.-sa